.

Mengenai Saya

Foto saya
Klaten , Jawa Tengah, Indonesia
Suka ikutan kuis, lagi belajar nulis, narsis, kadang suka nangis.

Senin, 16 Juni 2014

REVIEW TEMUI AKU DI SURGA by Ella Sofa




Judul          : Temui Aku di Syurga
Penulis         :
Ella Sofa
Penerbit       :Quanta-Elexmedia
Halaman       : 279 halaman
Tahun          : 2013


Sinopsis : 
Malik dan Yudho, dua pemuda sebaya dan nyaris serupa fisiknya. Namun, nasib dan takdir mereka jelas berbeda. Malik, putra bungsu sebuah keluarga berada di Desa Randuasri. Sementara Yudho, pemuda cemerlang yang tak bisa melanjutkan sekolah karena kemiskinan keluarganya, dan harus berjuang agar bisa mandiri dan membantu kehidupan orang tuanya. Jalinan nasib akhirnya mempertemukan mereka berdua. Bersahabat karib, bahkan seperti dua saudara. Tetapi, tiba-tiba saja mereka harus terpisah. Sisa-sisa masa lalu Malik yang kelam membuatnya sekali lagi harus terperosok dalam bahaya, dan berakhir dengan kematiannya. Yudho dan keluarga Malik terpuruk!
Tapi hidup harus terus bergulir. Yudho mendapat tawaran untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa. Ia menemukan banyak kejanggalan dan hambatan. Bahkan ia melihat dalang dibalik kecelakaan yang dialami sahabatnya, Malik. Apakah yang terjadi selanjutnya dengan hidup Yudho? Berhasilkah ia menjadi kepala desa? Mampukah ia menahan gejolak hatinya yang ternyata diam-diam menaruh rasa pada seorang gadis yang dulu dikagumi Malik? Ella Sofa mampu mengemas semuanya dengan manis. Novel yang berkisah tentang pemilihan kepala desa di Jepara ini dibaluri intrik yang menegangkan. Namun ditutup dengan akhir yang indah dan dalam. Temui Aku di Surga, sebuah janji yang terpatri di hati Yudho
 

Review :



Tak mungkin mengentas rindu,
jika hanya menunggu
Kau mungkin inginkanku
Hatimu terpaut padaku
Ingin bersama selalu
Tak jarang terkenang dalam sendu
Berhasrat mengejarku, meraihku, menahan langkahku
Mengulang masa indah hari lalu
Dan kau tahu itu impian palsu
Di dunia ini, tak mungkin lagi kau genggam tanganku
Merengkuh bahuku
Tertawa bersamaku
Maka doakanlah di syurga kelak aku berada
Kutunggu kau di sana
Usah gelisah gelayuti jika
Hanya satu janji saja
Temui aku di syurga

Sebuah puisi indah yang dilampirkan di awal novel ini.

Malik, salah seorang pemuda geng motor Topanx terlibat sebuah tawuran antar geng. Tawuran itu hampir saja merenggut nyawanya, beruntung ia bisa diselamatkan. Sebuah pelajaran berharga bagi Malik bahwa masuk geng banyak sisi negatifnya. Kemudian ia memutuskan untuk mondok di Pesantren Attarmasy di daerah pacitan. Tapi semenjak ibu Malik dioperasi, Malik memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Takdir kemudian mempertemukan Malik dan Yudho. Kecintaan terhadap burung membuat ayah Malik, Pak Rohmadi dan Yudho menjadi dekat. Pertemanan Yudho dan Malik pun semakin akrab. Yudho keluar dari tempat kerjanya. Bersama Malik yang mendapat bantuan dana dari Pak Rohmadi , mereka memutuskan untuk merintis usaha bersama.
          Kemudian hadir sosok soleha bernama Hesti, seorang santri anak dari sahabat ibu Rohmadi yang sama-sama berjualan di pasar. Sepertinya cinta pada pandangan pertama atau love at first sight memang benar adanya. Pertemuan pertama mereka di rumah sakit meninggalkan kesan tersendiri di hati Malik. Namun, kisah cinta Hesti dan Malik tidaklah berjalan dengan mulus.  Hesti yang seorang santri penghafal Al Qur’an tidak bisa menerima cinta yang ditawarkan Malik. Meski Hesti juga menaruh hati pada Malik, Hesti memutuskan untuk tetap fokus pada hafalannya. Rindu dan perasaan cinta yang dimiliki Hesti tertuang dengan apik dalam buku hariannya.

“Jangan khawatirkan apa pun tentang kita, Serahkan semua pada-Nya, Mas. Kila berjodoh, pasti akan bersatu,. Terima kasih atas semuanya, smeoga mas malik menuai keesuksesan di kemuadian hari. Biarkan aku menjadi damai dalam penyucian hatiku.”

Penggalan surat Hesti yang ditulis untuk Malik (hlm. 107)       

          Malik kemudian memutuskan mengikuti pemilihan petinggi desa, tapi belum sempat keinginan itu terlaksana Malik berpulang ke rahmatullah, sebuah kecelakaan telah merenggut nyawanya. Yudho kemudian menggantikan posisi Malik menjaga Bu Rahmadi. Yudho juga sering mengantarkan bu Rohmadi berjualan ke pasar. Keluarga Pak Rohmadi sudah menganggap Yudho sebagai anak mereka sendiri.
          Yudho memutuskan untuk melanjutkan impian Malik menjadi petinggi desa, sebuah persaingan ketat dengan Pak Thamrin, petinggi desa sebelumnya yang mencalonkan diri lagi pemilihan. Sebuah konflik politik yang disampaikan dengan apik oleh penulisnya. Juga mitos tentang jas Ontokusumo, jas yang dipercaya akan memenangkan si pemakainya dalam pemilihan petinggi desa.
         
          Sama dengan Malik, Yudho pun menganggap Hesti adalah sosok yang pas untuk dijadikan seorang istri.

          Pembaca akan disuguhi dengan berbagai intrik politik pedesaan dan misteri tentang kematian Malik. Jika ingin tahu bagaimana ending kisah Yudho dan Hesti? Silakan baca selengkapnya di novel terbitan Quanta ini. Dijamin pasti anda akan membaca sebuah kisah tentang persahabatan yang sangat menginspirasi.   


Selamat Mbak Ella, atas terbitnya novel ini. Terima kasih karena saya diberi kesempatan memiliki novel ini secara gratis melalui kuis yang digelar. Semoga terus berkarya untuk novel-novel selanjutnya. Saran da kritik mungkin hanya tentang lembar biodata. Sepertinya sebuah buku tanpa biodata penulis kurang lengkap. Atau bisa juga dimasukkan beberapa kalimat tanggapan dari beberapa endorser.




Minggu, 15 Juni 2014

My Rapunzel (Dimuat di majalah HAI edisi 13 Edisi 31 Maret-06 April 2014)





Dimuat di majalah HAI edisi 13 Edisi 31 Maret - 06 April 2014

My Rapunzel
*Ayuni Adesty
        
            Hari ini hari terakhir MOS. Bagi gue ada enaknya, tapi ada nggak enaknya juga. Enaknya sih, gue bisa terbebas dari masa penjajahan kakak-kakak senior. Gue masih inget, waktu disuruh keliling lapangan sambil jongkok gara-gara buang sampah sembarangan. Emang gue akuin itu emang salah gue sih, tapi menurut gue tetap saja hukuman itu terlalu sadis! Malemnya gue sampai nggak bisa tidur, betis gue sakit dan pegel semua. Nggak enaknya adalah gue nggak bisa lagi pedekate sama si Winda. Dia itu satu grup sama gue pas MOS. Tapi sayangnya kita beda kelas meski sama-sama jurusan IPA. Ditambah lagi, kelasnya itu jauh banget sama kelas gue. Ibarat kutub utara dan kutub selatan.
             For me, she is my  Rapunzel. Why I called her My Rapunzel? Cewek manis yang satu ini emang punya rambut panjang sepinggang yang indah. Lurus, lebat, hitam dan berkilau. Pokoknya nggak kalah deh sama rambut model iklan shampo di tivi. She is preety, smart, cute! Cewek idaman gue banget! 
            ***
            Akhirnya gue hari ini pake seragam putih abu-abu. Bangga banget akhirnya bisa pake seragam ini. Jam enam pagi gue udah stand by  di depan kaca. Udah rapi, udah sarapan, udah ganteng! Eh, tapi kalau ganteng, alhamdulillah sih udah bawaan dari lahir. He … he …. Meki nggak bawa mobil keren atau mobil sedan mewah, gue dengan semangat empat lima bareng si Arbi berangkat ke sekolah. Oh, ya kenalin! Arbi itu sepeda fixie gue. He he, norak nggak sih ngasih nama ke sepeda? Tapi bagi gue Arbi itu udah kayak soulmate gue. Arbi itu hadiah ulang tahun dari almarhum bokap gue tiga tahun yang lalu.
            Tujuan gue bangun pagi-pagi, selain buat meminimalisir polusi udara, juga karena pengen ngecengen si Winda. Gue mau nungguin dia di depan gerbang sekolah. Karena menurut gue, itu adalah cara paling efektif buat pedekte sama dia. Gue nggak rela kalau My Rapunzel nanti digaet cowok lain.
            Kalau kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba! Pas gue masuk gerbang sekolah si Winda baru aja turun dari mobil.
            “Hai Winda ….” sapa gue sok kenal sok dekat. Niruin gaya manggil nama cewek di salah satu iklan.
            “Eh, Arman. Hai juga,” sapa Winda ramah. Bikin gue tambah jatuh cinta sama doi.
            “Eh, kamu tiap hari ke sekolah bawa sepeda?” tanyanya kemudian.
            “Yes. Bike to school!” jawab gue sambil nyengir kuda.
            “Oh, tapi keren kok. Oh, ya kenalin nih papa gue.”
            Yes! Aku bersorak dalam hati. Niatnya kan tadi cuma mau ngecengin si Winda, eh ini malah udah dikenalin sama papanya. Thanks God for today!
            “Arman, Om.” Gue mengulurkan tangan ke dalam mobil.
            “Oh, ya udah kalau gitu Om duluan, takut telat nyampe kantor.”
            Setelah papanya Winda pergi, aku menuntun si Arbi hingga ke parkiran. Berjalan bersisian sama My Rapunzel. Gue udah berasa kayak Galih dan Ratna.
            “Win, boleh minta alamat rumah nggak? Ntar Minggu sore rencananya gue mau main.”
            “Oh, boleh. Deket kok dari sini. Ntar gue smsin aja ya.”
            “Okelah kalau begitu. Eh, boleh ngajak si Arbi nggak?”
            “Siapa tuh Arbi? Satu sekolahan sama kita juga?”
            “Arbi itu nama sepeda gue. Akronim dari Ar-man bi-ke.”
            “Ha … ha…. Lo bisa aja. Iya  boleh-boleh.”
            Yes! Gue bersorak di parkiran. Dan kali ini nggak cuma di dalam hati, tangan gue refleks mengepal di depan dada. My Rapunzel sudah duluan pergi ke kelasnya. Nggak sia-sia perjuangan pedekate selama MOS kemarin biar bisa tukeran nomor hape.
            Dan hari yang gue tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Gue menggoes si Arbi di Minggu sore yang cerah menuju rumah My Rapunzel . Pas gue nyampe alamat yang dismsin Winda, My Rapunzel udah duduk manis di depan teras sambil baca novel.
            “Hai, Rapunzel! Pangeran udah datang nih!” teriak gue dari pintu gerbang.
            “Norak ih! Mentang-mentang rambut gue panjang lo panggil-panggil Rapunzel.” Winda datang ke depan gerbang dan membuka gerbang.
            “He … he …. Mulai sekarang gue panggil lo Rapunzel aja ah!”
            “Lagian mana ada pangeran bawa sepeda?”
            “Lo mau gue datang naik kuda? Kereta kencana?”
            “Kan bisa naik andong, sama-sama naik kuda.”
            “Di Jakarta, mana ada andong, Non!”
            “Ha … ha ….” Kami tertawa bersama.
            Dan sore itu menjadi sore yang indah buat gue. Gue sama My Rapunzel muter-muter keliling kompleks naik sepeda. Rambut panjang Winda yang biasanya diiket, sore itu tergerai melambai-lambai tertiup angin sore.
            ***
            Hari ini hari pertama masuk ekskul. Tadinya gue mau milih ekskul yang sama dengan Winda. Tapi pasti dia milih ekskul masak atau nari, jadi gue mutusin buat masuk ekskul paskibra aja. Gue nggak jago basket, dan nggak terlalu suka fotografi.
            Sore itu seluruh siswa yang ikut ekskul paskibra sudah berbaris di lapangan. Hey! Bukannya itu My Rapunzel! Aku sampai mengucek-ngucek mataku karena tidak percaya dengan penglihatanku. Ke mana rambut panjangnya yang indah? Rambut panjang sepinggangnya kini hanya tersisa sebatas bawah telinga. Seusai latihan, gue hampiri si Winda yang sedang minum.
            “Win, lo masuk ekskul paskibra? Rambut lo ….” gue nggak nerusin kalimat gue.
            “Kenapa rambut gue? Lo jadi nggak bisa manggil Rapunzel lagi ya?”
            “Gue suka cewek yang rambutnya panjang,” gue keceplosan. “Eh, maksud gue …,” gue jadi salah tingkah. “Gue sebenarnya suka sama lo dari awal kita masuk MOS.” Sudah kepalang tanggung, akhirnya gue bilang aja perasaan gue yang sejujurnya.
            “Oh, berarti lo pedekate karena rambut gue panjang ya? Terus kalau rambut gue pendek, lo nggak suka lagi dong sama gue?”
            “Maybe you're not Rapunzel that I've been looking  for, but would you mind to be my Cinderella?” Kata gue sambil mengambil sepatu dari dalam tas ransel gue dan memberikan sepatu sebelah kiri milik Winda.
            “Ih, usil banget sih? Pantesan tadi pas gue cariin nggak ada. Ternyata lo yang ngumpetin! Yang sebelah lagi mana?”
            “Jawab dulu dong kalau lo juga suka sama gue.” Kata gue sambil mengerlingkan sebelah mata.
            “Ih, awas lo ya!” Winda siap siap mengejar gue. Dan sore itu kembali menjadi sore yang indah buat gue.
            ***
            -End-






Cerpen ini adalah cerpen perdana yang dimuat di majalah HAI. Rasanya seneng bingiiit!! Dua minggu sebelumnya dapat surat cinta dari redakurnya dan dikasih tahu tanggal terbitnya setelah menanti kurang lebih selama enam bulan. Pas terbit, aku dengan semangat empat lima ngapelin bapak lapak koran dan alhamdulillah ada cerpenku. Terbit sesuai jadwal yang diberitahukan. Biasanya sih bisa mundur atau maju. Setelah membayar Rp 15.000 majalahnya aku bawa pulang dengan hati berbunga-bunga. Amazing banget ngeliat ada namaku di cerpen itu lengkap dengan ilustrasi kecenya. Meski tulisan penulisnya kecil banget, tapi nggak papa deh. Tapi berharap lay out nama penulisnya lebih gedhe lagi. Ha ha
:D



Ini dia nih cover depannya, Hmm cowok banget ya?. Ada personil-personil band MY CHEMICAL ROMANCE. Karena HAI memang majalah cowok. 
 
Mau cerpennya dimuat juga seperti saya?      
Ayooo kirim juga ke alamat e mail Majalah HAI
cerpen_hai@yahoo.com


Naskah teenlit max 6000 cws (character with space) dengan tokoh utama cowok.